Trump Mundur dari Kesepakatan, Pemerintah Beri Sinyal Batal Terapkan Pajak Minimum Global 15 Persen
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan sinyal bahwa pemerintah Indonesia kemungkinan besar membatalkan penerapan pajak minimum global sebesar 15 persen. Hal ini mengikuti keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang memilih mundur dari kesepakatan pajak global tersebut.

Trump secara resmi mengumumkan keputusannya ketika menandatangani sejumlah perintah eksekutif pada hari pertama masa kepresidenannya, 20 Januari 2025. Langkah ini memicu reaksi di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang sebelumnya telah menyiapkan regulasi terkait pajak minimum global.
“Kami juga belajar bagaimana cara untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15 persen. Dan kami cukup positif karena Trump 2.0 tidak ingin hal ini diterapkan. Jadi saya rasa kami akan mengikuti Trump 2.0,” ujar Airlangga dalam acara Indonesia Economic Fest di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Kebijakan Pajak Minimum Global yang Dibayangi Ketidakpastian
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 yang mengatur pengenaan pajak minimum global. Peraturan ini rencananya mulai berlaku pada tahun pajak 2025 dan mengharuskan perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal 750 juta euro untuk dikenakan pajak minimum sebesar 15 persen di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi.
Dalam aturan ini, jika tarif pajak efektif yang dikenakan suatu negara terhadap perusahaan kurang dari 15 persen, maka wajib pajak harus melakukan pembayaran pajak tambahan (top-up tax) paling lambat pada akhir tahun pajak berikutnya.
Sebagai contoh, untuk tahun pajak 2025, estimasi jumlah pajak tambahan yang harus dibayarkan paling lambat jatuh pada 31 Desember 2026.
Dampak Pembatalan Pajak Minimum Global
Keputusan Trump untuk menarik AS dari kesepakatan pajak global memberikan dampak signifikan terhadap implementasi aturan ini di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa konsekuensi utama yang mungkin terjadi antara lain:
- Ketidakpastian bagi Perusahaan Multinasional
Dengan AS sebagai salah satu penggerak utama kebijakan pajak global, mundurnya Trump dari kesepakatan ini dapat mengurangi urgensi negara lain untuk menerapkan aturan serupa. Hal ini bisa menciptakan ketidakpastian bagi perusahaan multinasional yang sebelumnya sudah bersiap untuk beradaptasi dengan pajak minimum global. - Peluang bagi Indonesia untuk Menarik Investasi
Jika Indonesia batal menerapkan pajak minimum global, kebijakan ini berpotensi menarik lebih banyak investasi asing. Sebab, perusahaan multinasional cenderung memilih negara dengan kebijakan pajak yang lebih fleksibel dan kompetitif. - Potensi Hilangnya Pendapatan Pajak Negara
Jika Indonesia batal menerapkan pajak minimum global, ada kemungkinan negara kehilangan potensi penerimaan pajak dari perusahaan multinasional yang sebelumnya diwajibkan untuk membayar pajak tambahan di Indonesia.
Reaksi dan Proyeksi ke Depan
Keputusan ini menuai berbagai reaksi dari pengamat ekonomi, pelaku usaha, dan pembuat kebijakan. Beberapa analis menilai bahwa batalnya penerapan pajak minimum global bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing fiskal di kawasan Asia Tenggara.
Namun, di sisi lain, beberapa ekonom khawatir bahwa Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk memperkuat
basis penerimaan pajaknya, terutama dari perusahaan multinasional yang sebelumnya diwajibkan membayar pajak tambahan.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, kebijakan ini
perlu dievaluasi secara matang agar tidak justru merugikan Indonesia dalam jangka panjang.
“Jika pajak minimum global tidak diterapkan, Indonesia harus mencari strategi lain untuk memastikan perusahaan multinasional tetap berkontribusi terhadap penerimaan negara. Jika tidak, kita berisiko kehilangan pendapatan pajak yang cukup besar,” ujar Yustinus.
Sejauh ini, Kementerian Keuangan masih mengkaji apakah peraturan terkait pajak minimum global akan dicabut sepenuhnya
atau hanya ditunda penerapannya hingga situasi internasional lebih kondusif.
“Kami akan terus memantau perkembangan global, terutama langkah yang diambil negara-negara lain setelah AS mundur dari kesepakatan pajak ini,” ungkap Dirjen Pajak Kemenkeu, Suryo Utomo.
Dalam beberapa bulan ke depan, pemerintah diharapkan akan mengumumkan keputusan final mengenai status pajak minimum global 15 persen di Indonesia.
Mundurnya Presiden AS Donald Trump dari kesepakatan pajak minimum global memicu reaksi berantai di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan sinyal kuat bahwa Indonesia akan mengikuti langkah Trump dan membatalkan penerapan pajak minimum global.
Keputusan ini menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, batalnya aturan ini dapat menarik lebih banyak investasi asing. Namun di sisi lain, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan pajak dari perusahaan multinasional yang sebelumnya diwajibkan membayar pajak tambahan.
Ke depan, keputusan final pemerintah terkait kebijakan pajak ini masih dinantikan. Apakah Indonesia akan benar-benar membatalkan pajak minimum global atau hanya menunda penerapannya? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang pasti, dinamika kebijakan pajak ini akan terus menjadi sorotan, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini.
Pemerintah perlu menimbang berbagai aspek sebelum membuat keputusan final. Yang terpenting, kebijakan yang diambil harus tetap mengutamakan kepentingan nasional dan memastikan stabilitas penerimaan pajak negara.