Tak Cuma Dijadikan Konten, Operator Layar Tancap Minta Dukungan Pemerintah
Layar tancap merupakan salah satu bentuk hiburan rakyat yang pernah berjaya di Indonesia, terutama di era sebelum televisi menjamur ke pelosok-pelosok negeri. Suasana berkumpul di lapangan terbuka sambil menonton film dengan proyektor sederhana telah menjadi kenangan manis bagi banyak generasi. Sayangnya, saat ini layar tancap lebih banyak dijadikan konten nostalgia daripada diberi dukungan nyata untuk terus eksis sebagai bagian dari budaya lokal.
Di tengah tren digitalisasi dan maraknya platform streaming, layar tancap memang tak lagi menjadi pilihan utama masyarakat dalam mencari hiburan. Namun demikian, bukan berarti keberadaan layar tancap harus dilupakan begitu saja. Banyak operator layar tancap masih setia menghidupkan tradisi ini meski harus menghadapi berbagai keterbatasan. Yang mereka butuhkan bukan sekadar sorotan kamera media sosial, tetapi dukungan konkret dari pemerintah dan masyarakat.

Tak Cuma Dijadikan Konten, Operator Layar Tancap Minta Dukungan Pemerintah
Belakangan ini, media sosial dan kanal YouTube kerap menampilkan video yang merekam aktivitas layar tancap di daerah pedesaan. Video-video itu viral karena mengusung tema nostalgia, memperlihatkan anak-anak desa yang menonton film bersama warga, beralaskan tikar dan diterangi sinar proyektor. Sayangnya, konten-konten tersebut seringkali dibuat tanpa melibatkan atau memberi manfaat langsung kepada operator layar tancap.
Operator layar tancap mengaku merasa seperti “dimanfaatkan” oleh para pembuat konten. Mereka merasa hanya dijadikan obyek visual yang menarik, namun realitas hidup mereka sebagai pelaku budaya justru diabaikan. Padahal, di balik layar proyektor itu ada cerita perjuangan panjang: peralatan yang sudah tua, biaya operasional yang tinggi, serta sulitnya mendapatkan izin atau dukungan dari pihak berwenang.
Realitas Operator Layar Tancap di Lapangan
Untuk dapat menjalankan pertunjukan layar tancap, para operator harus membawa berbagai peralatan seperti layar besar, proyektor, generator, sistem audio, hingga kursi lipat. Semua itu dilakukan dengan biaya sendiri. Belum lagi, mereka harus menghadapi tantangan seperti cuaca yang tidak menentu, perizinan yang rumit, dan minat masyarakat yang semakin menurun.
Salah satu operator layar tancap, Pak Darto dari Klaten, Jawa Tengah, mengungkapkan bahwa ia sudah menjalani profesi ini selama lebih dari 20 tahun. Namun, menurutnya, saat ini menjalankan layar tancap lebih mirip kegiatan sosial ketimbang usaha. “Kalau dihitung dari segi keuntungan, ya jelas rugi. Tapi saya lakukan karena ingin mempertahankan warisan budaya ini,” ujarnya.
Permintaan Dukungan Nyata dari Pemerintah
Operator seperti Pak Darto tidak menuntut banyak. Yang mereka harapkan hanyalah adanya perhatian dari pemerintah agar tradisi layar tancap bisa terus bertahan. Beberapa bentuk dukungan yang mereka harapkan antara lain:
-
Subsidi peralatan proyeksi modern agar pertunjukan lebih menarik.
-
Keringanan izin pertunjukan untuk mempermudah pelaksanaan acara di ruang publik.
-
Program pelatihan dan regenerasi teknisi agar tidak hanya bergantung pada pelaku lama.
-
Festival film keliling atau pertunjukan layar tancap keliling yang dikelola oleh pemerintah daerah.
Menurut mereka, jika pemerintah mau memberikan sedikit ruang dan fasilitas, layar tancap bisa bangkit kembali sebagai bentuk hiburan alternatif yang merakyat dan edukatif.
Potensi Sosial dan Edukasi
Tak hanya hiburan, layar tancap juga punya potensi besar untuk kegiatan sosial dan edukasi. Banyak komunitas dan lembaga swadaya masyarakat yang mulai melihat layar tancap sebagai media penyuluhan yang efektif. Misalnya, pemutaran film tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, bahaya narkoba, atau edukasi pertanian bisa dilakukan melalui layar tancap di desa-desa.
Dengan pendekatan yang tepat, layar tancap bisa menjadi sarana komunikasi yang kuat, terutama di daerah yang belum terjangkau teknologi digital secara optimal. Di sinilah peran pemerintah dan lembaga pendidikan sangat penting dalam menjadikan layar tancap sebagai bagian dari strategi pembangunan masyarakat.
Baca juga:Pemerintah Bangun Rumah Terjangkau bagi Pekerja Lapangan dan Petani
Budaya Lokal yang Harus Dilestarikan
Layar tancap bukan hanya soal memutar film, tetapi bagian dari kehidupan sosial masyarakat desa. Ini adalah momen berkumpul, berdiskusi, dan berinteraksi antargenerasi. Dalam dunia yang semakin individualistis akibat kecanduan gadget, layar tancap bisa menjadi jembatan untuk membangun kembali kedekatan sosial.
Mengingat pentingnya nilai budaya tersebut, seharusnya pelestarian layar tancap tidak hanya menjadi tanggung jawab operator atau komunitas pecinta film semata. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta dinas terkait di daerah, harus turun tangan langsung untuk menyusun regulasi dan program dukungan nyata.
Inspirasi dari Luar Negeri
Beberapa negara seperti India dan Brasil berhasil mempertahankan tradisi pemutaran film keliling dengan dukungan kuat dari pemerintah dan industri perfilman nasional. Di India, konsep “mobile cinema” digunakan sebagai alat kampanye sosial yang menyasar komunitas-komunitas terpencil. Pemerintah India bahkan bekerja sama dengan lembaga swasta untuk menyediakan truk layar tancap dengan sistem digital canggih.
Indonesia pun bisa belajar dari konsep ini. Dengan dukungan dana yang memadai dan sistem manajemen yang profesional, layar tancap bisa menjadi alat promosi budaya, pendidikan, hingga ekonomi kreatif lokal. Misalnya, dalam pertunjukan layar tancap juga bisa disisipkan iklan produk UMKM, pertunjukan seni lokal, atau bahkan konser mini dari musisi daerah.
Penutup: Jangan Biarkan Layar Tancap Hanya Jadi Kenangan
Layar tancap adalah salah satu dari sedikit warisan budaya hiburan rakyat yang masih bertahan di era modern ini. Namun jika tidak segera dilindungi dan didukung, tradisi ini bisa lenyap dan tinggal sebagai kenangan dalam foto atau video nostalgia.
Masyarakat boleh saja membagikan video layar tancap di TikTok atau Instagram, tapi jangan lupa bahwa di balik momen indah itu ada operator yang mengorbankan waktu, tenaga, dan materi demi mempertahankan budaya. Sudah saatnya pemerintah dan semua elemen bangsa memberikan dukungan nyata, bukan hanya apresiasi sesaat.
Dengan langkah nyata dan kolaborasi berbagai pihak, layar tancap bisa hidup kembali, bukan hanya sebagai hiburan rakyat, tapi juga sebagai simbol keberagaman, solidaritas, dan edukasi di tengah masyarakat Indonesia.