Rasio Kredit Bermasalah UMKM Meningkat, Pemerintah Diminta Beri Perhatian Serius
Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kembali menghadapi tekanan berat di tengah pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.
Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) pada sektor UMKM mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, perbankan, serta pemerhati ekonomi nasional.
Dengan kontribusinya yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia—yakni lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) dan menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja nasional—kenaikan NPL UMKM dinilai sebagai indikator
serius yang tidak boleh diabaikan. Banyak pihak kini mendesak agar pemerintah dan otoritas keuangan
memberikan perhatian dan kebijakan yang tepat guna menyelamatkan sektor ini dari ancaman stagnasi dan krisis pembiayaan.

NPL UMKM Naik di Atas Ambang Normal
Berdasarkan laporan triwulan pertama 2025 dari OJK, rasio kredit bermasalah UMKM tercatat berada di angka 4,5 persen, naik dari posisi sebelumnya di kisaran 3,2 persen pada akhir tahun 2024. Angka ini melampaui batas ambang toleransi yang umumnya dianggap sehat oleh industri perbankan, yaitu maksimal 5 persen.
Peningkatan ini dipicu oleh sejumlah faktor, seperti:
-
Keterlambatan pembayaran cicilan akibat penurunan omset pelaku usaha
-
Kondisi pasar yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi dan tekanan ekonomi global
-
Kenaikan biaya bahan baku dan logistik
-
Dampak suku bunga pinjaman yang masih tinggi
-
Minimnya literasi keuangan dan manajemen usaha di kalangan pelaku UMKM
Kondisi ini diperparah dengan berakhirnya berbagai program restrukturisasi dan insentif pinjaman dari masa pandemi yang sebelumnya memberi keringanan pembayaran.
Ancaman terhadap Perbankan dan Ekosistem Pembiayaan
Rasio NPL yang tinggi pada sektor UMKM tidak hanya berdampak pada pelaku usaha, tetapi juga membawa risiko terhadap sektor perbankan. Bank menjadi lebih selektif dalam menyalurkan kredit, terutama kepada pelaku UMKM yang tidak memiliki jaminan kuat atau belum memiliki rekam jejak pembayaran yang baik.
Akibatnya, banyak UMKM yang kesulitan mengakses modal kerja atau pembiayaan ekspansi. Ini menciptakan lingkaran masalah yang semakin membebani sektor riil.
Selain itu, kenaikan NPL juga dikhawatirkan berdampak pada ekosistem fintech lending, di mana banyak startup pendanaan digital menggandeng pelaku UMKM sebagai target pasar. Tanpa mitigasi risiko yang kuat, ini dapat memicu gejolak likuiditas dan kepercayaan investor terhadap sektor pembiayaan berbasis teknologi.
Permintaan Dukungan Lebih Kuat dari Pemerintah
Melihat kondisi yang semakin rentan, berbagai asosiasi dan pengamat ekonomi mendesak agar pemerintah lebih serius dalam menangani peningkatan NPL UMKM.
Beberapa bentuk dukungan yang diharapkan antara lain:
-
Perpanjangan program restrukturisasi kredit untuk pelaku UMKM yang masih terdampak
-
Subsidi bunga pinjaman untuk sektor-sektor prioritas seperti pertanian, kuliner, dan kerajinan
-
Pendampingan manajemen usaha dan pelatihan literasi keuangan
-
Penjaminan kredit dari lembaga pemerintah seperti Jamkrindo dan Askrindo secara lebih masif
-
Digitalisasi UMKM secara menyeluruh untuk mendorong efisiensi dan ekspansi pasar
Menurut Ketua Asosiasi UMKM Indonesia, tekanan keuangan yang dialami pelaku usaha bukan hanya soal ketidakmampuan membayar, tetapi lebih pada ketidaksiapan menghadapi tantangan ekonomi baru pasca pandemi.
Upaya dari Perbankan dan Lembaga Keuangan
Beberapa bank nasional telah mulai mengantisipasi lonjakan NPL ini dengan menerapkan sistem credit scoring berbasis digital dan analitik data.
Selain itu, mereka juga mulai melakukan pendekatan baru seperti cluster financing dan kemitraan berbasis komunitas
untuk memperkuat kepercayaan dan kolaborasi antar pelaku usaha.
Pemerintah daerah juga mulai digandeng dalam berbagai program pembinaan UMKM, termasuk pelatihan, promosi produk lokal dan fasilitasi pemasaran digital.
Namun demikian, upaya ini masih membutuhkan waktu dan dorongan kebijakan di tingkat pusat agar dampaknya bisa
dirasakan secara menyeluruh, khususnya oleh UMKM di daerah tertinggal atau luar Pulau Jawa.
Baca juga:Indonesia Sepakati Ekspor Listrik Bersih Ke Singapura Mulai 2025
Penutup
Kenaikan rasio kredit bermasalah di sektor UMKM menjadi sinyal peringatan penting bagi pemerintah, perbankan, dan masyarakat luas.
Jika tidak ditangani secara cepat dan komprehensif, kondisi ini bisa berdampak pada penurunan daya saing dan ketahanan sektor UMKM dalam jangka panjang.
Pemerintah dituntut untuk segera turun tangan, tidak hanya dengan regulasi, tetapi juga dengan program nyata yang menyentuh akar permasalahan.
Menjaga kelangsungan UMKM berarti menjaga stabilitas ekonomi nasional, karena sektor ini adalah tulang punggung sejati ekonomi rakyat.