Pemerintah Berencana Naikkan Royalti Emas dan Nikel 1,5-3 Persen
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menggodok rencana kebijakan untuk menaikkan tarif royalti komoditas emas dan nikel. Kenaikan yang direncanakan berada dalam kisaran 1,5% hingga 3%, tergantung jenis tambang dan skema produksi yang dijalankan oleh perusahaan tambang.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan. Sektor ini dinilai memiliki potensi besar dalam menopang pembangunan nasional, terlebih dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan peningkatan kebutuhan pembiayaan negara.

Pemerintah Berencana Naikkan Royalti Emas dan Nikel 1,5-3 Persen
Kebijakan kenaikan royalti ini muncul setelah pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kontribusi sektor tambang CERDAS4D khususnya emas dan nikel, dalam perekonomian nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan global terhadap emas dan nikel meningkat tajam, terutama seiring perkembangan industri kendaraan listrik (EV) yang membutuhkan nikel sebagai bahan baku utama baterai.
Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia memiliki posisi strategis untuk mendapatkan nilai tambah lebih besar. Namun, menurut analisis Kementerian ESDM, besarnya potensi ini belum sepenuhnya tercermin dalam penerimaan negara. Oleh karena itu, penyesuaian tarif royalti dianggap perlu untuk menciptakan keadilan fiskal dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Skema dan Besaran Kenaikan
Dalam skema yang sedang difinalisasi, pemerintah mempertimbangkan skema tarif progresif berdasarkan volume dan harga jual produksi. Untuk emas, royalti akan dinaikkan dari sebelumnya sekitar 3,75% menjadi 5% dalam beberapa kasus tertentu. Sementara untuk nikel, kenaikan diperkirakan dari 2% ke angka antara 3% hingga 5%, tergantung kadar bijih dan pemanfaatannya.
Namun, dalam kebijakan terbaru yang lebih moderat, kenaikan yang sedang difinalisasi akan berfokus pada kisaran 1,5% hingga 3%. Besaran ini dinilai tidak terlalu membebani pelaku usaha, namun tetap memberikan tambahan penerimaan bagi negara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, menyatakan bahwa kajian telah melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk asosiasi pertambangan, pelaku industri, serta akademisi untuk menciptakan kebijakan yang adil dan berimbang.
Reaksi dari Pelaku Usaha
Rencana kenaikan royalti ini mendapat tanggapan beragam dari para pelaku usaha tambang. Beberapa perusahaan menyambut baik kebijakan ini selama prosesnya transparan dan melibatkan diskusi yang konstruktif.
Namun, tak sedikit pula yang mengkhawatirkan dampak terhadap kelangsungan operasi dan profitabilitas, terutama bagi perusahaan tambang menengah dan kecil. Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) meminta agar pemerintah memberikan insentif atau relaksasi untuk perusahaan yang sudah berkontribusi tinggi melalui pembangunan smelter atau hilirisasi.
Menurut mereka, kebijakan royalti seharusnya mempertimbangkan kontribusi investasi dan multiplier effect yang ditimbulkan perusahaan terhadap ekonomi lokal.
Manfaat Tambahan bagi Negara
Dari sisi pemerintah, kenaikan royalti ini akan memperkuat posisi fiskal negara. Berdasarkan proyeksi Kementerian Keuangan, kenaikan royalti nikel dan emas ini dapat menambah PNBP hingga triliunan rupiah setiap tahunnya.
Penerimaan ini akan digunakan untuk mendukung berbagai program pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur dasar, energi terbarukan, pendidikan, serta program pengentasan kemiskinan.
Selain itu, kebijakan ini juga sejalan dengan prinsip resource nationalism, yakni memaksimalkan manfaat sumber daya alam untuk kepentingan rakyat dan negara.
Hubungan dengan Program Hilirisasi
Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan kenaikan royalti ini tidak berdiri sendiri. Kenaikan royalti akan diimbangi dengan insentif bagi pelaku usaha yang berinvestasi dalam hilirisasi.
Program hilirisasi mineral, termasuk pembangunan smelter nikel dan emas, menjadi bagian integral dari kebijakan energi dan sumber daya alam nasional. Pelaku usaha yang membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian akan mendapatkan keringanan tarif, serta kemudahan perizinan dan insentif fiskal.
Kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan nilai tambah lebih besar di dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat rantai pasok industri nasional.
Tantangan dan Kritik
Meski demikian, kebijakan ini tidak lepas dari tantangan. Beberapa pengamat ekonomi menyatakan bahwa kenaikan royalti dapat membuat investor berhati-hati dan mempertimbangkan ulang rencana ekspansi di Indonesia.
Tantangan lainnya adalah pengawasan dan kepatuhan. Pemerintah harus memastikan bahwa perusahaan tambang melaporkan produksi dan pendapatan mereka secara transparan, agar royalti yang dibayarkan sesuai dengan realita.
Diperlukan sistem monitoring berbasis digital yang terintegrasi untuk mencegah praktik penghindaran kewajiban royalti.
Baca juga:BEM SI Gelar Demo Tolak Revisi UU TNI di Gedung DPR Hari Ini
Suara dari Daerah Penghasil
Pemerintah daerah penghasil tambang, seperti Sulawesi Tenggara dan Papua, memberikan respons positif terhadap rencana ini. Mereka berharap dengan naiknya royalti, alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) ke daerah juga meningkat.
Dengan begitu, daerah bisa membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik yang lebih baik bagi masyarakat lokal, yang selama ini terdampak langsung oleh aktivitas tambang.
Konsistensi dengan Kebijakan Energi Nasional
Kebijakan ini juga menjadi bagian dari roadmap transisi energi dan ketahanan sumber daya alam Indonesia. Dengan mendorong peningkatan royalti dan hilirisasi, Indonesia ingin menghindari jebakan sebagai negara pengekspor bahan mentah dan memperkuat posisi sebagai produsen barang jadi dan setengah jadi.
Pemerintah menyatakan komitmennya untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan negara, investor, dan masyarakat. Konsistensi dalam kebijakan ini diharapkan memberi sinyal positif kepada pelaku usaha dan pasar global bahwa Indonesia adalah mitra yang kredibel dalam sektor pertambangan dan energi.
Kesimpulan
Rencana pemerintah untuk menaikkan royalti emas dan nikel sebesar 1,5-3% merupakan langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong tata kelola sumber daya alam yang lebih adil. Meskipun mendapat tanggapan beragam dari pelaku industri, kebijakan ini dinilai sejalan dengan semangat hilirisasi dan pembangunan berkelanjutan.
Agar kebijakan ini berhasil, pemerintah perlu memastikan implementasi yang adil, pengawasan yang ketat, serta komunikasi yang terbuka dengan para pemangku kepentingan. Kenaikan royalti seharusnya tidak hanya menjadi instrumen fiskal, tetapi juga bagian dari transformasi ekonomi menuju kemandirian dan kesejahteraan nasional.