Pemerintah Atur Pajak Kripto Sesuai PPN 12 Persen, Apa Dampaknya ke Industri?
Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 yang mengatur penyesuaian
nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak serta besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk transaksi aset kripto.
Regulasi ini mulai berlaku pada 4 Februari 2025 dan menyesuaikan tarif PPN baru sebesar 12 persen yang telah diterapkan sejak 1 Januari 2025.
Skema Penghitungan PPN untuk Transaksi Aset Kripto

Dalam regulasi terbaru, pemerintah menetapkan skema penghitungan PPN untuk transaksi aset kripto sebagai berikut:
- Untuk penyerahan aset kripto oleh penjual melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang terdaftar di Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), tarif yang dikenakan adalah:
- [1 persen x (11/12)] x 12 persen x nilai transaksi aset kripto.
- Untuk penyerahan aset kripto oleh penjual melalui PMSE yang bukan PFAK, tarif yang berlaku adalah:
- [2 persen x (11/12)] x 12 persen x nilai transaksi aset kripto.
Tanggapan Industri terhadap Regulasi Pajak Kripto
Chief Marketing Officer (CMO) Tokocrypto, Wan Iqbal, menyambut baik kebijakan ini dan menilai regulasi tersebut
memberikan kepastian hukum bagi industri kripto.
“Kami mengapresiasi langkah regulator dalam mengatur pajak transaksi kripto dengan skema yang lebih jelas dan sesuai dengan perkembangan industri. Ini akan meningkatkan transparansi dan kepercayaan masyarakat terhadap aset kripto sebagai bagian
dari ekosistem ekonomi digital,” ujar Iqbal, melalui keterangan pers, Jumat (21/2/2025).
Sebagai Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) berlisensi penuh, Tokocrypto menyesuaikan tarif pajak transaksi di platformnya guna mematuhi ketentuan PMK 11/2025. Iqbal menegaskan, berdasarkan regulasi baru ini, Tokocrypto akan menerapkan tarif PPN sebesar 0,11 persen dari nilai transaksi aset kripto, yang mulai berlaku efektif pada 20 Februari 2025.
Penerimaan Pajak dari Transaksi Kripto
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga Januari 2025, penerimaan pajak dari transaksi kripto mencapai Rp 1,19 triliun. Sejak diberlakukan pada 2022, penerimaan pajak kripto menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun:
- 2022: Rp 246,45 miliar
- 2023: Rp 220,83 miliar (mengalami penurunan)
- 2024: Rp 620,4 miliar (lonjakan signifikan)
- Januari 2025: Rp 107,11 miliar
“Pertumbuhan ini mencerminkan peningkatan transaksi aset kripto di Indonesia, yang didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kewajiban pajak serta kepastian regulasi yang diterapkan pemerintah,” jelas Iqbal.
Dampak Regulasi Terhadap Industri Aset Kripto
Dengan adanya kepastian regulasi ini, transaksi aset kripto di Indonesia diharapkan semakin meningkat karena pengguna memiliki pemahaman yang lebih jelas terkait kewajiban pajak mereka. Regulasi ini juga diharapkan dapat:
- Menarik lebih banyak investor, baik dalam negeri maupun luar negeri.
- Meningkatkan transparansi pasar dan memperkuat legitimasi aset kripto dalam sistem keuangan Indonesia.
- Mendorong pertumbuhan industri kripto secara berkelanjutan, dengan kepastian hukum bagi perusahaan dan pelaku usaha yang bergerak di sektor ini.
Namun, beberapa pihak dalam komunitas kripto masih menyuarakan kekhawatiran terkait tarif pajak yang relatif tinggi, yang dapat mengurangi daya tarik investasi di sektor ini jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki regulasi pajak lebih ringan.
Seiring dengan perkembangan industri aset kripto di Indonesia, pemerintah diharapkan terus memantau dan menyesuaikan kebijakan ini agar dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi digital tanpa membebani para investor dan pelaku usaha di sektor kripto.
Regulasi Pajak Kripto Dibandingkan dengan Negara Lain
BACA JUGA:Pemerintah Segel SPBU Nakal di Sukabumi yang Rugikan Masyarakat Rp 1,4 M
Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia termasuk yang menerapkan pajak cukup tinggi untuk transaksi aset kripto. Beberapa negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Jerman telah mengadopsi skema pajak yang lebih fleksibel.
- Jepang mengenakan pajak kripto dengan tarif 20 persen untuk keuntungan modal.
- Amerika Serikat menerapkan pajak hingga 37 persen bagi wajib pajak yang memiliki pendapatan tinggi.
- Jerman membebaskan pajak keuntungan kripto jika aset tersebut dimiliki lebih dari satu tahun.
Ke depan, pemerintah Indonesia perlu menyesuaikan kebijakan pajak kripto agar tetap kompetitif dengan negara-negara lain yang lebih ramah terhadap investor aset digital.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Meskipun penerapan pajak 12 persen dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan negara, industri aset kripto di Indonesia tetap menghadapi sejumlah tantangan, antara lain:
- Edukasi Pajak bagi Investor
- Banyak investor yang belum memahami kewajiban pajak mereka, sehingga sosialisasi mengenai mekanisme perpajakan perlu ditingkatkan.
- Potensi Perpindahan Investor ke Pasar Global
- Tarif pajak yang tinggi dapat mendorong investor untuk memindahkan transaksi mereka ke bursa luar negeri yang memiliki skema pajak lebih ringan.
- Stabilitas Regulasi
- Perubahan kebijakan pajak yang terlalu sering dapat menciptakan ketidakpastian bagi investor dan pelaku usaha kripto di Indonesia.
Dengan adanya kepastian regulasi yang diterapkan melalui PMK 11/2025, diharapkan bahwa pemerintah akan
terus memantau dampaknya terhadap pertumbuhan industri aset kripto dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Ke depannya, diperlukan sinergi antara regulator, pelaku industri, dan komunitas investor untuk
menciptakan ekosistem aset digital yang berkelanjutan dan kompetitif di tingkat global.