MK Putuskan Pasal Menyerang Kehormatan di UU ITE Tak Berlaku untuk Pemerintah hingga Korporasi
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan penting yang berdampak luas terhadap praktik hukum di Indonesia
khususnya terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pasal yang mengatur mengenai penghinaan atau serangan terhadap
kehormatan dalam UU ITE tidak dapat diterapkan terhadap pemerintah, badan publik, atau korporasi. Keputusan ini dinilai sebagai langkah
penting dalam memperjelas ruang lingkup perlindungan hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia.

MK Putuskan Pasal Menyerang Kehormatan di UU ITE Tak Berlaku untuk Pemerintah hingga Korporasi
Perkara ini berawal dari permohonan uji materi yang diajukan oleh sejumlah pihak yang merasa khawatir bahwa pasal-pasal dalam
UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3), digunakan secara berlebihan untuk mengkriminalisasi kritik terhadap pemerintah, lembaga publik, dan korporasi besar.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Dalam praktiknya, pasal ini kerap digunakan untuk melaporkan warga yang mengkritik pejabat, instansi pemerintah, atau korporasi besar.
Banyak kalangan menganggap penerapan pasal tersebut berpotensi membungkam kebebasan berpendapat.
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam sidang putusan yang dibacakan pada April 2025, MK memutuskan bahwa:
-
Pasal 27 ayat (3) UU ITE tetap berlaku, namun harus ditafsirkan bahwa objek hukum yang dilindungi hanyalah individu atau perseorangan.
-
Pemerintah, lembaga negara, badan publik, dan korporasi tidak dapat menggunakan pasal ini untuk mengajukan gugatan atas dasar penghinaan atau pencemaran nama baik.
-
Perlindungan hukum atas penghormatan martabat dalam konteks lembaga atau korporasi harus menggunakan mekanisme hukum lain, bukan melalui kriminalisasi individu dengan menggunakan pasal ini.
Dengan demikian, kritik terhadap pemerintah atau perusahaan besar tidak bisa lagi dipidanakan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
Dalam putusannya, MK mengemukakan sejumlah pertimbangan penting, antara lain:
-
Kebebasan Berekspresi adalah Hak Konstitusional
Mahkamah menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945. Negara wajib menjamin hak ini, termasuk kritik terhadap pemerintah dan lembaga publik. -
Pemerintah Bukan Subjek Perlindungan Personal
Pemerintah, lembaga negara, maupun korporasi adalah entitas publik yang harus bersikap terbuka terhadap kritik dan pengawasan dari masyarakat. Mereka tidak memiliki “kehormatan personal” yang dilindungi setara dengan individu. -
Mencegah Penyalahgunaan Hukum
MK menyatakan bahwa membiarkan entitas publik menggunakan pasal penghinaan akan berpotensi besar mengancam demokrasi, memperkuat budaya antikritik, dan menciptakan chilling effect terhadap kebebasan berpendapat.
Dampak Putusan terhadap Penegakan Hukum
Putusan ini membawa sejumlah dampak penting dalam praktik hukum di Indonesia:
-
Perlindungan terhadap Kritikus dan Aktivis
Warga negara, aktivis, jurnalis, dan akademisi kini memiliki kepastian hukum yang lebih kuat bahwa kritik terhadap pemerintah atau korporasi tidak dapat dikriminalisasi menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. -
Penyesuaian Proses Penanganan Kasus
Kepolisian dan kejaksaan harus lebih selektif dalam menerima laporan penghinaan atau pencemaran nama baik. Laporan dari badan publik atau korporasi atas kritik masyarakat tidak dapat lagi diproses dengan pasal ini. -
Penguatan Demokrasi dan Akuntabilitas Publik
Dengan tidak adanya ancaman pidana, diharapkan akan tercipta iklim keterbukaan, diskusi publik yang sehat, serta akuntabilitas yang lebih tinggi terhadap lembaga-lembaga publik dan korporasi.
Respon Beragam dari Masyarakat
Putusan MK ini disambut dengan antusias oleh berbagai kalangan, terutama komunitas sipil, pegiat HAM, dan jurnalis. Mereka menilai putusan ini sebagai kemenangan bagi kebebasan berekspresi.
-
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa keputusan ini memperbaiki kesalahan historis dalam penerapan UU ITE.
-
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut bahwa kini kritik terhadap penyelenggara negara dapat lebih leluasa tanpa takut dikriminalisasi.
-
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyuarakan agar korporasi lebih fokus pada klarifikasi dan penggunaan jalur perdata dalam menyikapi kritik masyarakat.
Namun, ada juga pihak yang mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat tetap harus dijalankan secara bertanggung jawab, tanpa melanggar hak-hak pribadi orang lain.
Baca juga :Pemerintah Didorong Lebih Teliti Mengatur Komisi Ojol
Tantangan Implementasi di Lapangan
Meski putusan MK bersifat final dan mengikat, implementasinya di lapangan bisa menghadapi tantangan:
-
Sosialisasi kepada Aparat Penegak Hukum
Perlu sosialisasi intensif kepada aparat kepolisian dan kejaksaan tentang tafsir baru ini agar tidak terjadi salah penanganan. -
Kesadaran Masyarakat
Warga perlu memahami batas antara kritik yang sah dan ujaran kebencian yang memang tidak dilindungi hukum. -
Peningkatan Literasi Hukum
Pendidikan publik tentang hak kebebasan berekspresi dan prosedur hukum yang benar harus terus digencarkan untuk mencegah penyalahgunaan jalur hukum.
Perbandingan dengan Negara Lain
Putusan ini menempatkan Indonesia sejajar dengan banyak negara demokrasi lain yang memang membedakan antara perlindungan kehormatan individu dengan entitas publik.
-
Di Amerika Serikat, kritik terhadap pemerintah dilindungi secara ketat oleh Amandemen Pertama Konstitusi.
-
Di Jerman, pengkritik pemerintah tidak dapat dipidanakan kecuali terbukti mengandung fitnah atau ujaran kebencian ekstrem.
Dengan demikian, langkah Mahkamah Konstitusi ini dianggap sejalan dengan praktik internasional dalam melindungi ruang kebebasan sipil.
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan tonggak penting dalam memperkuat demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Dengan menyatakan bahwa pemerintah, lembaga publik, dan korporasi tidak dapat menggunakan pasal ini untuk menuntut individu atas dasar
penghinaan atau pencemaran nama baik, MK memastikan bahwa ruang kritik terhadap penyelenggara negara tetap terbuka.
Di tengah tantangan menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial, keputusan ini menjadi
fondasi penting dalam menciptakan iklim diskusi yang sehat, terbuka, dan bertanggung jawab di Indonesia.