Kebijakan Tanah Telantar Merampas Hak Prioritas Pemegang Hak
Kebijakan mengenai tanah telantar di Indonesia lahir dari niat baik untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya agraria.
Dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan aturan turunannya
negara memiliki hak untuk mencabut hak atas tanah yang tidak digunakan secara produktif atau sesuai peruntukan. Namun, dalam praktiknya, implementasi
kebijakan ini menimbulkan polemik, terutama karena dapat mengesampingkan hak prioritas dari pemegang hak yang sah.
Kebijakan Tanah Telantar Merampas Hak Prioritas Pemegang Hak
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah yang telah diberikan hak kepada
seseorang atau badan hukum, namun tidak dimanfaatkan, digunakan, atau dimanfaatkan tidak sesuai izin, dapat dikategorikan sebagai tanah telantar.
Setelah melalui proses verifikasi dan pemberian surat peringatan, tanah tersebut bisa dicabut haknya dan dikembalikan kepada negara.
Masalah Hak Prioritas yang Terabaikan
Salah satu persoalan krusial dalam penerapan kebijakan ini adalah pengabaian terhadap hak prioritas pemegang hak sebelumnya.
Pemegang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai seharusnya mendapatkan prioritas utama untuk
memperbarui atau memperpanjang hak atas tanah tersebut. Namun, sering kali, begitu tanah dinyatakan telantar
hak-hak ini lenyap dan tanah langsung dialihkan atau dilelang kepada pihak lain tanpa mempertimbangkan kepentingan pemilik awal.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Pengabaian hak prioritas memiliki dampak sosial yang signifikan. Banyak pemilik tanah merasa kehilangan kepercayaan terhadap sistem pertanahan nasional.
Dalam beberapa kasus, pemilik tanah menghadapi kesulitan ekonomi yang menyebabkan tanah tidak bisa dimanfaatkan optimal, dan hal ini dianggap sebagai alasan telantarnya tanah.
Ketika tanah kemudian diambil alih tanpa solusi atau kompromi, terjadi ketimpangan serta konflik antara masyarakat dan otoritas pertanahan.
Peran Pemerintah dan Keadilan Agraria
Dalam konteks keadilan agraria, negara seharusnya berperan melindungi hak-hak rakyat, termasuk hak atas tanah.
Pemerintah, melalui Kementerian ATR/BPN, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap tindakan penertiban tanah telantar tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan, proporsionalitas, dan transparansi. Solusi seperti pembinaan atau pendampingan kepada pemilik tanah seharusnya diutamakan sebelum mencabut hak mereka.
Usulan Revisi dan Solusi Kebijakan
Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan revisi kebijakan tanah telantar agar tetap mempertahankan semangat
optimalisasi tanah, namun tidak mengabaikan hak prioritas. Salah satu pendekatan yang disarankan adalah pemberian tenggat waktu dan fasilitas restrukturisasi hak sebelum pencabutan.
Selain itu, mekanisme keberatan atau banding harus diperkuat agar pemilik tanah memiliki saluran hukum yang adil.
Pentingnya Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Tanah
Dalam negara hukum, perlindungan terhadap hak kepemilikan merupakan fondasi utama. Ketika pemerintah menerapkan kebijakan yang berpotensi
merampas hak tersebut tanpa kompensasi atau proses yang adil, kepercayaan publik terhadap hukum dan lembaga negara bisa menurun.
Oleh karena itu, penting bagi pemilik tanah untuk memahami hak-hak mereka serta berkonsultasi dengan ahli hukum agraria saat menghadapi peringatan tanah telantar.
Penutup: Menyeimbangkan Produktivitas dan Hak Rakyat
Kebijakan tanah telantar seharusnya menjadi instrumen untuk meningkatkan produktivitas tanah, bukan alat untuk mengambil alih hak rakyat.
Negara harus hadir sebagai fasilitator yang adil, bukan sebagai entitas yang mengambil keuntungan dari kelalaian atau kesulitan masyarakat.
Dengan kebijakan yang tepat, kepentingan pembangunan dan perlindungan hak atas tanah dapat berjalan seimbang demi kesejahteraan bersama.
Baca juga:Ketua Badan Anggaran DPR Ajak Pemerintah Negosiasikan Ulang Tarif Dagang dengan