JETP Bisa Bantu Pemerintah untuk Pensiunkan Dini PLTU Batu Bara
JETP Bisa Bantu Pemerintah untuk Pensiunkan Dini PLTU Batu Bara
Jakarta, Sabtu (8/2/2025) – Pemerintah Indonesia semakin gencar dalam mempersiapkan transisi energi
yang lebih bersih melalui berbagai inisiatif, termasuk melalui Just Energy Transition Partnership (JETP).
JETP adalah sebuah skema pendanaan yang dirancang untuk membantu negara berkembang seperti Indonesia
dalam beralih dari energi fosil, khususnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, menuju energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Inisiatif ini
merupakan salah satu bagian dari upaya besar pemerintah untuk mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan dan mengurangi emisi karbon yang berkontribusi terhadap perubahan iklim global.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam upaya ini adalah bagaimana
untuk pensiunkan dini PLTU batu bara, mengingat masih tingginya ketergantungan pada energi fosil dan
banyaknya subsidi yang dialokasikan ke sektor tersebut. Just Energy Transition Partnership (JETP)
dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan ini, dengan menyediakan pendanaan yang diperlukan untuk mempercepat proses transisi menuju energi terbarukan.
JETP Bisa Bantu Pemerintah untuk Pensiunkan Dini PLTU Batu Bara
Menurut Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya, Indonesia berpotensi untuk mendapatkan pembiayaan hingga 170 persen dari kebutuhan transisi energi yang tertera dalam dokumen JETP senilai 96,1 miliar dolar AS. Tata menjelaskan bahwa dalam kerangka skema ini, pemerintah Indonesia dapat memperoleh 35 persen dana dari total kebutuhan untuk membiayai pembangunan jaringan listrik yang lebih efisien dan pensiun dini PLTU batu bara.
“Ini menunjukkan kalau pemerintah punya kemauan politik untuk meningkatkan pungutan batu bara, Indonesia sebenarnya bisa membiayai transisi energi,” ungkap Tata Mustasya dalam keterangan tertulisnya. Menurut Tata, jika pemerintah menunjukkan kemauan
politik yang kuat untuk meningkatkan pungutan batu bara secara progresif, Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pendanaan yang diperlukan untuk transisi energi ini. Pungutan progresif akan memberikan tambahan dana yang bisa digunakan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mempercepat pembangunan infrastruktur energi terbarukan.
Pentingnya Pajak Karbon untuk Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Dalam pembahasan mengenai langkah-langkah transisi energi, Tata Mustasya juga menekankan
pentingnya penerapan pajak karbon bagi PLTU batu bara. Pajak karbon berfungsi sebagai disinsentif bagi bisnis yang bergantung pada energi fosil karena akan mempengaruhi
keuntungan yang didapatkan oleh pemilik PLTU. Tata menjelaskan bahwa
jika pajak karbon diberlakukan dengan batasan emisi yang ketat, maka pemilik PLTU akan lebih terdorong untuk beralih ke energi terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.
Namun, ia juga mengungkapkan bahwa meskipun ada potensi untuk mengurangi laba yang diperoleh
oleh pemilik PLTU, fasilitas yang ada selama ini untuk energi fosil masih terlalu besar. PLTU batu bara masih mendapat berbagai fasilitas yang menguntungkan, sehingga tidak ada urgensi untuk segera pensiun dini.
Gap yang ada dalam pensiun dini PLTU masih sangat besar karena PLTU masih mendapat karpet
merah dengan berbagai fasilitas yang membuat untungnya masih besar. Sehingga tidak ada urgensi pensiun ini,” ujar Tata.
Oleh karena itu, Tata menyarankan agar penerapan pajak karbon mulai dilakukan segera agar transisi energi dapat terwujud dengan lebih cepat.
Subsidi Energi Fosil Menghambat Pengembangan Energi Terbarukan
Dalam diskusi mengenai tantangan transisi energi, Peneliti Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Martha Maulidia, menyampaikan bahwa banyaknya subsidi energi fosil yang diberikan oleh pemerintah, termasuk
batu bara, menghambat pengembangan energi terbarukan (EBT).
Martha mengkritik kebijakan pemerintah yang masih mengalokasikan dana besar untuk sektor energi fosil, sementara potensi pengembangan EBT justru terbatas karena minimnya dukungan.
“Akhirnya kita terkunci pada situasi di carbon lock-in. Karena sudah sayang mengucurkan uang ke sana
bukannya disetop, kita malah terus bakar duit ke sana,” jelas Martha Maulidia. Carbon lock-in merujuk pada kondisi di mana negara atau industri terjebak dalam ketergantungan
terhadap energi fosil karena banyaknya dana yang sudah terlanjur diinvestasikan.
Dalam hal ini, pengurangan subsidi terhadap energi fosil akan menjadi langkah pertama yang penting agar energi terbarukan bisa berkembang.
Martha juga menambahkan bahwa untuk mempercepat transisi energi, subsidi energi fosil perlu
dicabut terlebih dahulu sebelum pajak karbon dapat diterapkan secara efektif. Setelah itu, pemerintah bisa mengarahkan dana tersebut untuk membiayai energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Subsidi ke energi fosil perlu dicabut dulu, baru kita terapkan pajak karbon agar uang negara tidak sekadar berpindah dari kantong kanan ke kantong kiri,” ujar Martha.
Meningkatkan Pertumbuhan Energi Terbarukan di Indonesia
Dalam rangka mempercepat transisi energi, pengembangan energi terbarukan (EBT) harus menjadi fokus utama. Pemerintah Indonesia harus melakukan perubahan besar dalam kebijakan energi, dengan mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang berbahaya bagi lingkungan.
Salah satu langkah yang diperlukan adalah dengan mengurangi penggunaan PLTU batu bara dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan air.
Martha menyoroti bahwa pengurangan ketergantungan pada energi fosil akan memberikan banyak manfaat, termasuk pengurangan subsidi dan kompensasi listrik yang totalnya bisa mencapai Rp 500 triliun pada tahun 2023.
Dengan pengurangan penggunaan PLTU batu bara, pemerintah juga akan dapat mengurangi biaya subsidi dan memperbaiki keuangan negara. Selain itu, energi terbarukan diharapkan bisa menjadi sumber energi utama bagi Indonesia di masa depan, yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.
Regulasi Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Dalam rangka mewujudkan transisi energi, Peneliti Hukum Centre of Economic and Law Studies (Celios), Muhamad Saleh,
mengungkapkan empat kebijakan yang dapat menjadi dasar bagi transisi energi maupun penutupan PLTU batu bara.
Salah satunya adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 yang mengatur jenis dan kriteria PLTU yang harus dimatikan.
Perpres ini memberikan landasan hukum yang jelas terkait dengan pensiun dini PLTU batu bara, serta
mekanisme pembiayaan yang diperlukan untuk memastikan transisi berjalan lancar.
Perpres tersebut memberikan panduan bagi pemerintah dalam menentukan kriteria PLTU yang tidak layak beroperasi lagi dan harus ditutup. Hal ini menjadi langkah penting dalam mewujudkan energi berkelanjutan di Indonesia.
Tentu saja, untuk memastikan transisi energi yang sukses, perlu ada kolaborasi antara
pemerintah, industri, dan masyarakat dalam menyusun kebijakan yang mendukung pengurangan ketergantungan pada energi fosil dan mempercepat pengembangan energi terbarukan.