Fakta Jual-Beli Konten Pornografi di Telegram, Anak-anak Jadi Korban
Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya berhasil menangkap seorang tersangka berinisial CSH di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, pada Jumat (31/1/2025). Penangkapan ini dilakukan setelah polisi menemukan bahwa tersangka menyebarkan lebih dari 13.000 konten pornografi anak melalui aplikasi Telegram.
“Penyidik menemukan ada 13.336 konten porno saat pelaku memasarkan atau me-marketing-kan. Ini sampelnya adalah konten pornografi anak SD,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, pada Sabtu (22/2/2025).

Fakta Jual-Beli Konten Pornografi di Telegram, Anak-anak Jadi Korban
Menurut hasil penyelidikan, CSH telah menjalankan aksinya sejak Juli 2024 hingga Januari 2025. Ia menggunakan aplikasi Telegram untuk mendistribusikan konten pornografi dengan cara mengelola delapan grup yang berbeda. Untuk bergabung ke dalam grup tersebut, anggota harus membayar biaya keanggotaan sebesar Rp 150.000 per orang.
“Pelaku menyebarkan konten pornografi anak dengan cara memperjualbelikan melalui akun media sosial Telegram dengan menyediakan delapan grup channel yang mendistribusikan konten pornografi anak,” kata Ade Ary.
Dari hasil penyitaan barang bukti, polisi menemukan bahwa grup Telegram yang dikelola oleh CSH berisi sekitar 500 akun aktif. Melalui grup ini, tersangka mengunggah dan menjual ribuan konten yang mengandung eksploitasi anak secara ilegal.
Keuntungan dari Kejahatan Siber
Selama menjalankan aksinya, CSH berhasil memperoleh keuntungan yang tidak sedikit. Berdasarkan pengakuan tersangka, ia telah mengumpulkan keuntungan sekitar Rp 80 juta dari hasil penjualan konten pornografi anak dalam kurun waktu beberapa bulan.
“Keuntungan yang telah didapatkan oleh pelaku dari penjualan konten pornografi anak, kurang lebih sebesar Rp 80 juta,” ungkap Kasubdit III Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Kompol Alvin Pratama, Sabtu (22/2/2025).
Kompol Alvin juga menjelaskan bahwa motif utama tersangka dalam melakukan kejahatan ini adalah faktor ekonomi. Tersangka mengaku menggunakan hasil kejahatannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Tujuan pelaku CSH melakukan tindak pidana tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan yang dipergunakan oleh pelaku untuk memenuhi kebutuhan ekonominya,” tambah Alvin.
Dampak Psikologis dan Sosial bagi Korban
Kejahatan pornografi anak tidak hanya memberikan dampak hukum bagi pelaku, tetapi juga memiliki konsekuensi yang serius bagi para korban. Anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual sering kali mengalami trauma berkepanjangan yang memengaruhi perkembangan psikologis dan emosional mereka.
Beberapa dampak yang bisa dialami korban antara lain:
- Gangguan Psikologis: Anak-anak korban eksploitasi seksual sering mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
- Ketakutan dan Kehilangan Kepercayaan: Anak-anak yang menjadi korban sering merasa takut untuk berbicara atau melaporkan kejadian karena ancaman dari pelaku.
- Kesulitan dalam Hubungan Sosial: Korban eksploitasi seksual sering kali mengalami isolasi sosial karena stigma yang melekat di masyarakat.
- Dampak terhadap Pendidikan dan Masa Depan: Anak-anak yang mengalami trauma cenderung kesulitan berkonsentrasi dalam belajar dan mengalami penurunan prestasi akademik.
Hukuman Berat untuk Pelaku Kejahatan Pornografi Anak
Atas perbuatannya, tersangka CSH dijerat dengan berbagai pasal dalam undang-undang terkait kejahatan siber dan pornografi. Ia dikenakan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Selain itu, ia juga dijerat dengan Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Jika terbukti bersalah, tersangka dapat menghadapi hukuman pidana yang berat, termasuk ancaman penjara bertahun-tahun serta denda yang besar.
Upaya Penegakan Hukum dan Pencegahan Kejahatan Digital
Kasus ini menjadi bukti bahwa kejahatan digital semakin berkembang pesat, terutama dalam hal eksploitasi anak melalui platform komunikasi seperti Telegram. Oleh karena itu, aparat kepolisian dan pemerintah berkomitmen untuk terus memperketat pengawasan terhadap kejahatan siber dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya eksploitasi digital.
Polda Metro Jaya juga mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial dan melaporkan segala aktivitas mencurigakan yang terkait dengan distribusi konten ilegal.
Peran Orang Tua dan Masyarakat dalam Melindungi Anak-anak
Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi anak-anak dari ancaman kejahatan digital. Beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi di dunia maya meliputi:
- Edukasi tentang Keamanan Digital: Mengajarkan anak-anak tentang risiko berbagi informasi pribadi di internet.
- Pengawasan Aktivitas Online: Menggunakan parental control pada perangkat anak untuk membatasi akses ke situs berbahaya.
- Komunikasi Terbuka: Membangun komunikasi yang baik dengan anak sehingga mereka merasa nyaman untuk melaporkan hal-hal mencurigakan.
- Melaporkan Kejahatan Digital: Jika menemukan indikasi kejahatan seperti jual-beli konten ilegal, segera laporkan ke pihak berwajib.
Dengan adanya kerja sama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat, diharapkan kasus eksploitasi anak di dunia maya dapat ditekan seminimal mungkin.
Kasus jual-beli konten pornografi di Telegram yang melibatkan anak-anak sebagai korban menjadi peringatan bagi semua pihak untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum. Kejahatan ini bukan hanya mencoreng moralitas, tetapi juga memberikan dampak jangka panjang bagi para korban yang terlibat.
Dengan adanya penindakan tegas dari aparat kepolisian serta peran aktif masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus serupa, diharapkan perdagangan konten ilegal ini dapat diberantas. Upaya pencegahan, edukasi, serta regulasi yang lebih ketat menjadi langkah penting dalam melindungi generasi muda dari ancaman kejahatan siber yang semakin marak.