Dari GS hingga LuLu, Mengapa Banyak Pusat Belanja Tutup?
Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap ritel Indonesia mengalami perubahan besar. Banyak pusat perbelanjaan yang dulu ramai pengunjung kini tutup secara permanen atau berganti fungsi. Contohnya, GS Supermarket yang sebelumnya beroperasi di beberapa kota besar, dan LuLu Hypermarket, salah satu ritel Timur Tengah yang masuk Indonesia dengan ekspansi besar, kini dilaporkan telah menutup sejumlah gerainya. Fenomena ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada berbagai faktor yang memengaruhi tutupnya banyak pusat perbelanjaan, baik dari sisi teknologi, kebiasaan konsumen, hingga tekanan ekonomi global dan domestik.

Transformasi Digital dan Kebangkitan E-Commerce
Salah satu alasan utama tutupnya banyak pusat perbelanjaan adalah kebangkitan e-commerce. Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara orang berbelanja. Platform seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada, hingga TikTok Shop menawarkan pengalaman belanja yang praktis, cepat, dan tanpa harus keluar rumah. Konsumen kini dapat mencari, memilih, dan membeli produk hanya dengan ponsel mereka.
Tak hanya barang, bahkan makanan dan kebutuhan sehari-hari kini dapat dipesan melalui layanan instan seperti GoFood dan GrabMart. Hal ini secara langsung berdampak pada jumlah pengunjung pusat perbelanjaan, terutama mal kelas menengah yang bergantung pada tenant ritel.
E-commerce tidak hanya menyediakan harga lebih bersaing, tetapi juga memudahkan konsumen dalam hal perbandingan produk dan ulasan. Ini membuat konsumen makin enggan menghabiskan waktu dan biaya untuk datang langsung ke toko fisik.
Perubahan Gaya Hidup dan Prioritas Konsumen
Pergeseran gaya hidup masyarakat urban juga menjadi penyebab lainnya. Generasi muda kini lebih memprioritaskan pengalaman dan kenyamanan, bukan sekadar kepemilikan barang. Aktivitas seperti traveling, makan di tempat estetik, bekerja dari coffee shop, hingga menabung untuk investasi lebih dipilih dibandingkan berbelanja barang secara impulsif di pusat perbelanjaan.
Akibatnya, toko-toko yang menjual pakaian, sepatu, atau aksesori mengalami penurunan penjualan. Hal ini berdampak langsung pada operasional pusat perbelanjaan yang kehilangan daya tarik dan pengunjung setia mereka.
Kenaikan Biaya Operasional dan Sewa Gedung
Tidak bisa dimungkiri bahwa biaya operasional pusat perbelanjaan sangat besar. Mulai dari listrik, keamanan, kebersihan, pendingin ruangan, hingga promosi dan event yang harus diadakan rutin. Belum lagi biaya sewa yang tinggi bagi para tenant.
Ketika pandemi COVID-19 melanda, banyak tenant tak mampu membayar sewa karena pengunjung mal anjlok drastis. Meski pandemi sudah mulai berlalu, banyak tenant masih belum bisa pulih secara keuangan. Di sisi lain, pemilik gedung juga menghadapi tekanan finansial yang membuat mereka sulit menurunkan harga sewa.
Dalam kondisi ini, pusat perbelanjaan yang tidak punya model bisnis adaptif—seperti kolaborasi dengan UMKM atau tenant berbasis digital—akhirnya tidak sanggup bertahan dan tutup secara permanen.
Studi Kasus: GS Supermarket dan LuLu Hypermarket
GS Supermarket, ritel asal Korea Selatan, sempat menjadi favorit karena menjual produk-produk impor berkualitas dengan suasana modern. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, gerai-gerai GS mulai satu per satu menutup operasionalnya. Analisis menyebutkan bahwa strategi ekspansi yang terlalu cepat tanpa memahami karakter pasar lokal menjadi salah satu penyebab kegagalan.
Sementara itu, LuLu Hypermarket, jaringan ritel besar dari Uni Emirat Arab, awalnya menyasar konsumen Muslim kelas menengah ke atas dengan menjual produk halal dan segar dari luar negeri. Namun, konsep tersebut sulit bersaing dengan ritel lokal seperti Hypermart, Transmart, dan Alfamart yang punya jangkauan luas dan loyalitas pelanggan kuat.
Menurut laporan, LuLu juga mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan selera lokal dan efisiensi logistik di Indonesia. Akibatnya, beberapa gerainya dilaporkan tutup diam-diam dan operasional dikurangi secara signifikan.
Perubahan Demografi dan Urbanisasi
Indonesia sedang mengalami perubahan demografi. Banyak daerah yang dulunya merupakan kawasan berkembang kini menjadi kawasan padat atau bahkan bergeser fungsi. Kawasan suburban dan rural mulai mengadopsi gaya hidup digital, sedangkan generasi milenial dan Gen Z yang tinggal di kota besar cenderung lebih mobile dan tidak memiliki ketergantungan tinggi pada pusat perbelanjaan konvensional.
Hal ini mengakibatkan banyak pusat perbelanjaan yang lokasinya sudah tidak relevan dengan arus mobilitas masyarakat mengalami penurunan jumlah pengunjung. Jika tidak dilakukan renovasi atau relokasi, pusat belanja tersebut akan tertinggal oleh perubahan pola konsumsi masyarakat.
Mal Kini Harus Bertransformasi Menjadi Lifestyle Hub
Meski banyak pusat belanja tutup, bukan berarti industri ini tidak punya masa depan. Justru sebaliknya, pusat perbelanjaan kini dituntut bertransformasi menjadi pusat gaya hidup atau lifestyle hub. Artinya, mal tidak lagi hanya berisi toko-toko produk, tapi juga ruang interaksi sosial, galeri seni, coworking space, pusat kebugaran, event center, hingga komunitas kreatif.
Mal seperti ASHTA District 8, Summarecon Mall Bekasi, hingga Paskal 23 di Bandung adalah contoh pusat belanja yang berhasil menggabungkan konsep retail, lifestyle, dan experience dalam satu atap. Mereka lebih fokus pada tenant kuliner kreatif, ruang hijau, dan desain interior yang estetik untuk menarik minat pengunjung.
Kunci keberhasilan mereka adalah kemampuan beradaptasi terhadap selera dan perilaku konsumen generasi baru yang tidak hanya datang untuk berbelanja, tapi untuk berkumpul, berinteraksi, hingga mencari inspirasi.
Baca juga:Keluh Kesah Para Pencari Kerja di Jakarta yang Terganjal Batas Usia
Peran Pemerintah dan Dunia Usaha dalam Menjaga Ritel Fisik
Pemerintah juga punya peran besar dalam menjaga sektor ritel agar tidak terpuruk lebih dalam. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
-
Memberikan kebijakan insentif pajak bagi pusat belanja yang berinovasi atau menggandeng UMKM.
-
Membuka akses pembiayaan dan subsidi digitalisasi bagi tenant kecil dan menengah.
-
Mendorong kemitraan antara ritel konvensional dan platform e-commerce, agar terjadi sinergi bukan persaingan tajam.
-
Mengembangkan kawasan mal sebagai ruang publik multifungsi.
Dengan demikian, pusat perbelanjaan dapat terus berfungsi sebagai penggerak ekonomi lokal, pencipta lapangan kerja, dan ruang sosial masyarakat urban yang sehat.
Penutup: Inovasi Adalah Kunci Bertahan di Era Digital
Dari penutupan GS hingga LuLu, kita belajar bahwa bisnis ritel harus terus berinovasi dan memahami perubahan perilaku konsumen. Ketergantungan pada konsep lama tidak cukup lagi. Kehadiran teknologi dan digitalisasi harus dilihat sebagai alat bantu, bukan sebagai musuh.
Pusat perbelanjaan yang mampu menyesuaikan diri, menambahkan nilai tambah, dan menghadirkan pengalaman unik akan tetap relevan di era apa pun. Sementara itu, mereka yang tak bergerak, perlahan akan tergilas zaman.
Transformasi bukan lagi pilihan—melainkan kebutuhan yang mutlak untuk kelangsungan hidup industri ritel di Indonesia.