Bamsoet Bicara soal Pentingnya Keseimbangan Demokrasi & Hukum
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Bambang Soesatyo atau akrab disapa Bamsoet, kembali mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara demokrasi dan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam beberapa kesempatan, Bamsoet menegaskan bahwa demokrasi yang tumbuh tanpa kontrol hukum yang kuat hanya akan menciptakan kekacauan, sedangkan supremasi hukum tanpa jiwa demokrasi akan melahirkan otoritarianisme.
Pernyataan ini disampaikan Bamsoet di tengah meningkatnya tensi politik, menjelang berbagai agenda besar nasional seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, pembahasan UU strategis, hingga evaluasi sistem pemilu dan peran lembaga tinggi negara.

Makna Demokrasi: Kebebasan dengan Tanggung Jawab
Dalam pidatonya, Bamsoet menekankan bahwa demokrasi bukan sekadar kebebasan berpendapat atau hak untuk memilih, melainkan juga kewajiban untuk menjaga ketertiban, menghargai hukum, dan menjunjung tinggi kepentingan bersama. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal yang mengutamakan kebebasan individu semata.
“Kita tidak bisa membiarkan demokrasi berkembang liar tanpa batas. Kebebasan harus dibarengi dengan tanggung jawab, dan hukum menjadi panglima,” ujar Bamsoet.
Demokrasi yang sehat harus berdiri di atas prinsip keterbukaan, keadilan, partisipasi, dan penghormatan terhadap konstitusi. Bamsoet mengingatkan bahwa penyalahgunaan kebebasan, seperti hoaks, ujaran kebencian, dan politik identitas yang memecah belah, adalah ancaman serius bagi demokrasi itu sendiri.
Supremasi Hukum: Pilar Penegakan Keadilan
Di sisi lain, Bamsoet juga menyuarakan perlunya memperkuat supremasi hukum agar negara tidak terjebak dalam kekacauan akibat lemahnya penegakan hukum. Supremasi hukum tidak hanya berarti menegakkan aturan, tetapi juga memastikan bahwa hukum berdiri netral, adil, dan tidak tebang pilih.
“Kita butuh aparat hukum yang bersih, lembaga peradilan yang independen, serta regulasi yang berpihak pada keadilan dan kepentingan rakyat,” tegasnya.
Bamsoet juga menggarisbawahi pentingnya reformasi hukum secara menyeluruh, dari perundang-undangan, penegakan, hingga budaya hukum masyarakat. Tanpa reformasi, hukum akan terus menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan.
Ancaman terhadap Keseimbangan Demokrasi-Hukum
Bamsoet mencatat bahwa tantangan terbesar saat ini adalah menjaga keseimbangan antara demokrasi dan supremasi hukum dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ia menyebut beberapa ancaman nyata, seperti:
-
Intervensi politik dalam proses hukum
-
Kriminalisasi terhadap lawan politik
-
Maraknya politik uang dalam pemilu
-
Minimnya edukasi hukum di kalangan masyarakat
Jika dibiarkan, hal-hal tersebut bisa menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi negara dan menciptakan ketidakpastian hukum yang berdampak buruk pada stabilitas nasional.
Peran Lembaga Negara dalam Menjaga Keseimbangan
Sebagai Ketua MPR, Bamsoet menekankan bahwa lembaga-lembaga negara harus memainkan peran aktif dalam menjaga keseimbangan demokrasi dan hukum. Ia menyebut beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:
-
Legislatif harus berhenti memproduksi undang-undang bermuatan kepentingan elit. Setiap produk hukum harus dilandasi kajian akademik dan aspirasi rakyat.
-
Yudikatif harus menjaga independensinya. Hakim tidak boleh tunduk pada tekanan politik, apalagi korupsi.
-
Eksekutif harus menjadi teladan dalam penegakan hukum, tidak mencampuradukkan wewenang dengan kekuasaan politik.
-
Lembaga pengawas seperti KPK, Ombudsman, dan Komnas HAM harus diperkuat, bukan dilemahkan.
Pendidikan Hukum dan Literasi Demokrasi
Bamsoet juga mendorong peningkatan literasi hukum dan demokrasi di kalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Ia mengusulkan agar pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan hukum diperkuat di semua jenjang pendidikan.
“Masyarakat yang sadar hukum adalah kunci terwujudnya negara hukum yang sejati,” katanya.
Ia mengajak generasi muda untuk aktif dalam kegiatan politik yang sehat, bukan hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai penggerak perubahan. Dunia digital juga harus digunakan untuk edukasi, bukan provokasi.
Peran Media dan Teknologi
Bamsoet tidak melupakan peran penting media massa dan media sosial dalam membentuk persepsi publik. Ia mengingatkan bahwa media harus menjadi pilar keempat demokrasi yang profesional dan bertanggung jawab, bukan corong propaganda atau penyebar kebencian.
Teknologi digital, kata Bamsoet, harus digunakan untuk transparansi, keterbukaan informasi, dan pengawasan terhadap kekuasaan, bukan untuk menyesatkan opini publik atau memanipulasi informasi demi kepentingan politik.
Baca juga:Cak Imin Minta Pengusaha, Pemerintah, dan Buruh Duduk Bareng Atasi PHK
Evaluasi Sistem Demokrasi Indonesia
Dalam konteks politik nasional, Bamsoet mengajak seluruh elemen bangsa untuk mulai mengevaluasi sistem demokrasi Indonesia. Ia tidak menutup kemungkinan adanya revisi terhadap sistem pemilu, keterlibatan parpol, hingga tata kelola pilkada dan pilpres agar lebih efisien dan adil.
Menurutnya, demokrasi yang terlalu mahal justru membuka ruang korupsi dan politik transaksional.
“Mari kita pikirkan demokrasi yang lebih murah, tapi berkualitas. Demokrasi yang berakar pada budaya kita, bukan hanya meniru barat,” ujarnya.
Refleksi dalam Konteks Global
Keseimbangan antara demokrasi dan supremasi hukum bukan hanya isu nasional, tetapi juga isu global. Bamsoet menyoroti bagaimana banyak negara di dunia mengalami kegagalan demokrasi karena hukum lemah, atau sebaliknya, mengalami rezim otoriter karena hukum digunakan sebagai alat represi.
Indonesia, menurutnya, memiliki kesempatan besar untuk menjadi model negara demokrasi yang berlandaskan hukum dan keadilan sosial, jika bisa menjaga keseimbangan dua hal ini secara konsisten.
Penutup: Demokrasi dan Hukum, Dua Sayap Burung Garuda
Bamsoet mengibaratkan demokrasi dan supremasi hukum sebagai dua sayap burung Garuda. Jika salah satu sayap lemah, maka burung tak akan mampu terbang. Negara hanya bisa maju jika demokrasi tumbuh sehat dan hukum berdiri tegak.
Ia mengajak semua pihak – pemerintah, parlemen, aparat hukum, partai politik, media, dan rakyat – untuk bersama-sama menjaga harmoni dua pilar ini demi Indonesia yang adil, damai, dan berkeadaban.
“Kita ingin demokrasi yang berkarakter, bukan bebas tanpa batas. Kita butuh hukum yang adil, bukan alat kekuasaan,” tutup Bamsoet dalam pidatonya.