Pemerintah Diminta Tak Reaktif Bikin Regulasi Baru Setelah Kasus Video “Deepfake” Prabowo
Terungkapnya kasus penipuan yang menggunakan teknologi deepfake dengan wajah dan suara Presiden Prabowo Subianto memicu berbagai tanggapan. Namun, menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Nenden Sekar Arum, solusi untuk masalah ini tidak selalu harus dengan membuat regulasi baru. Ia memperingatkan bahwa pendekatan tersebut bisa menciptakan kondisi over-regulation yang justru menghambat potensi baik dari kecerdasan buatan (AI).

Tidak melulu solusinya adalah regulasi karena takutnya jadi over-regulation. Hal ini justru bisa menghilangkan potensi baik dari AI itu sendiri,” kata Nenden saat dihubungi Kompas.com, Kamis (23/1/2025).
Regulasi yang Ada Sudah Cukup untuk Mengatasi Penyalahgunaan AI
Nenden menjelaskan bahwa pemerintah saat ini sudah memiliki sejumlah aturan yang cukup untuk menangani penyalahgunaan teknologi, termasuk AI. Sebagai contoh, Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) dan peraturan terkait pidana penipuan dapat digunakan untuk menindak pelaku yang menyalahgunakan teknologi seperti deepfake.
Menurutnya, upaya menambah regulasi baru berisiko membatasi penggunaan teknologi AI yang sebenarnya memiliki banyak manfaat positif jika digunakan secara benar. “Pemerintah sebaiknya fokus pada penerapan regulasi yang sudah ada dan memperkuat edukasi masyarakat terkait potensi penyalahgunaan teknologi digital,” tambah Nenden.
Edukasi literasi digital dianggap menjadi pilar penting yang harus dilakukan secara paralel dengan implementasi aturan yang sudah ada. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat agar tidak mudah tertipu oleh konten digital yang menyesatkan.
Pentingnya Edukasi dan Tindakan Cepat dari Pemerintah
Selain literasi digital, Nenden juga menyarankan agar pemerintah segera mengeluarkan pengumuman atau imbauan setiap kali ada kasus penyalahgunaan teknologi seperti video deepfake. Hal ini bertujuan untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat agar tidak mudah tertipu oleh konten serupa.
“Ketika ada kasus penipuan menggunakan video deepfake, langkah cepat dari pemerintah untuk mengedukasi masyarakat kembali menjadi penting. Misalnya, memberikan literasi tentang cara mengenali konten palsu dan menghindari penipuan digital,” ujar Nenden.
Ia juga menambahkan bahwa keberadaan video deepfake dengan narasi pemberian bantuan sebenarnya bisa menjadi bentuk kritik kepada pemerintah. Jika masyarakat mudah tertipu oleh konten seperti ini, artinya, masih ada celah dalam edukasi publik terkait program-program bantuan resmi yang tengah berjalan.
Nenden menekankan bahwa penanganan masalah seperti ini membutuhkan keseimbangan antara penegakan hukum, literasi digital, dan pemanfaatan teknologi untuk hal-hal positif. Dengan pendekatan yang tepat, risiko penyalahgunaan teknologi dapat diminimalkan tanpa menghambat inovasi di bidang AI.
Kasus video deepfake yang melibatkan wajah dan suara Presiden Prabowo Subianto menjadi pengingat pentingnya literasi digital di era kecerdasan buatan. Pemerintah diminta untuk tidak terlalu reaktif dengan membuat regulasi baru, melainkan fokus pada penerapan aturan yang sudah ada serta memperkuat edukasi masyarakat.
Langkah cepat seperti memberikan imbauan dan meningkatkan literasi digital dinilai lebih efektif dalam mencegah penyalahgunaan teknologi di masa depan. Dengan pendekatan ini, potensi positif dari teknologi AI tetap bisa dimaksimalkan, sementara risiko penyalahgunaannya dapat diminimalkan.