Paradoks Beras Ketersediaan Aman, Harga Justru Naik di Banyak Daerah
Fenomena yang mengundang tanda tanya kembali terjadi dalam sektor pangan nasional.
Meski pemerintah memastikan stok beras nasional dalam kondisi aman dan mencukupi, fakta di lapangan justru menunjukkan
kenaikan harga beras di lebih dari 160 kabupaten/kota di Indonesia. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat, terutama menjelang masa transisi antara panen raya dan musim tanam berikutnya.
Data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kenaikan harga beras terjadi
secara serentak di berbagai daerah, dengan kisaran kenaikan antara Rp 300 hingga Rp 1.000 per kilogram, tergantung wilayah dan jenis beras.

Stok Berlimpah, Lumbung Aman
Pemerintah melalui Perum Bulog menyatakan bahwa ketersediaan stok beras di gudang mereka mencapai lebih dari 1,8 juta ton, jumlah yang dinilai mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional hingga akhir tahun. Selain itu, impor beras yang dilakukan dari beberapa negara produsen seperti Thailand dan Vietnam juga terus masuk secara bertahap.
Tak hanya itu, hasil panen lokal pada semester pertama 2025 juga tercatat cukup stabil, terutama dari sentra produksi di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan.
Artinya, secara kuantitas, tidak ada kelangkaan atau kekurangan pasokan di tingkat nasional.
Harga di Pasar Tak Terkendali
Meskipun dari sisi pasokan tidak terjadi gangguan, kenyataannya harga beras di pasar justru terus mengalami kenaikan.
Di pasar-pasar tradisional di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya, harga beras medium mencapai Rp 13.500 hingga Rp 14.000 per kilogram
sementara beras premium menyentuh angka Rp 15.000–Rp 16.000 per kilogram.
Kenaikan ini bahkan lebih terasa di daerah-daerah luar Jawa yang bergantung pada distribusi dari wilayah sentra produksi.
Di beberapa kabupaten di Kalimantan dan Nusa Tenggara, harga beras medium bahkan menembus angka Rp 16.500 per kilogram.
Distribusi dan Rantai Pasok Jadi Sorotan
Sejumlah pengamat pangan menyebut bahwa masalah utama bukan pada stok, melainkan pada distribusi dan tata kelola rantai pasok.
Keterlambatan penyaluran dari gudang Bulog ke pasar, biaya logistik yang tinggi, serta spekulasi pedagang menjadi faktor utama yang mendorong harga naik di tengah pasokan yang sebenarnya melimpah.
Kepala Badan Pangan Nasional mengakui adanya kendala teknis di lapangan.
Kami sudah mengidentifikasi beberapa daerah dengan distribusi yang lambat, terutama wilayah kepulauan dan pegunungan. Saat ini sedang kami evaluasi untuk percepatan,” ujarnya.
Peran Pedagang dan Psikologi Pasar
Tak dapat dipungkiri, psikologi pasar dan ulah spekulan juga memainkan peran dalam kenaikan harga. Ketika informasi soal rencana kenaikan harga atau kelangkaan beredar, sebagian pedagang cenderung menahan stok atau menaikkan harga lebih awal untuk antisipasi keuntungan.
Selain itu, menjelang masa tanam kedua, banyak petani tidak lagi memproduksi dan mulai membeli beras untuk konsumsi pribadi, yang meningkatkan permintaan dari sisi rumah tangga.
Upaya Pemerintah Menstabilkan Harga
Sebagai respons, pemerintah pusat dan daerah mulai melakukan beberapa langkah penanganan. Di antaranya adalah:
-
Operasi pasar murah beras SPHP oleh Bulog di wilayah-wilayah terdampak kenaikan harga.
-
Subsidi ongkos angkut untuk menekan biaya distribusi antar wilayah.
-
Pengawasan ketat pada pedagang besar guna mencegah praktik penimbunan.
-
Percepatan penyaluran bantuan pangan beras kepada keluarga kurang mampu.
Menteri Perdagangan juga menegaskan bahwa pihaknya akan mengevaluasi harga eceran tertinggi (HET) jika situasi terus tidak terkendali, agar masyarakat tetap bisa mengakses beras dengan harga terjangkau.
Kesimpulan: Harga Tak Selalu Bergantung pada Stok
Kasus ini menunjukkan bahwa ketersediaan pangan secara nasional belum tentu menjamin stabilitas harga di lapangan.
Tantangan justru muncul dalam sistem distribusi, koordinasi antarlembaga, dan perilaku pasar.
Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada kuantitas stok, tetapi juga memperbaiki tata kelola rantai pasok, distribusi yang merata, serta edukasi kepada pedagang dan konsumen.
Dengan demikian, harga beras bisa tetap terjangkau, dan paradoks seperti ini tidak kembali terulang.
Baca juga: Wujudkan Pendidikan Dasar Gratis, Apa yang Dilakukan Pemerintah?