Keluh Kesah Para Pencari Kerja di Jakarta yang Terganjal Batas Usia
Dalam hiruk pikuk bursa kerja yang digelar di Jakarta pada Mei 2025, ribuan pencari kerja berkumpul membawa harapan dan lamaran kerja. Namun, tak semua datang dengan optimisme penuh. Sejumlah pelamar, khususnya mereka yang telah melewati usia 35 tahun, mengeluhkan satu persoalan yang selalu membayangi proses rekrutmen: batas usia.

Suara dari Lapangan: Ketika Usia Jadi Penghalang
Adi, seorang pria berusia 50 tahun yang sebelumnya bekerja di industri perhotelan selama lebih dari dua dekade, hadir dengan harapan mendapatkan kesempatan kerja baru. Sayangnya, ia berkali-kali harus menelan kekecewaan karena hampir semua lowongan kerja membatasi usia maksimal pelamar.
“Saya sudah kirim banyak lamaran, tapi semua mentok di umur. Padahal saya punya pengalaman lebih dari 20 tahun di bidang pelayanan. Tapi usia 50 dianggap terlalu tua,” ujarnya.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Yanti, wanita berusia 44 tahun yang sempat bekerja sebagai SPG. Setelah dirumahkan, ia telah mencoba berbagai lowongan, namun selalu mentok di batas usia maksimal 30 atau 35 tahun.
“Kalau sudah lihat batas usia, saya langsung lewati. Padahal saya sanggup dan masih aktif bekerja,” ucapnya dengan nada kecewa.
Fokus Perusahaan pada Usia Muda
Di sisi lain, para pelamar usia muda seperti Rizky dan Rani, lulusan SMK berusia 18 tahun, justru lebih diuntungkan. Mereka mengaku dilirik banyak perusahaan karena dianggap masih segar, enerjik, dan siap dilatih dari awal.
“Saya senang ikut job fair ini karena langsung dilirik HRD. Mereka suka lulusan baru,” kata Rani.
Banyak perusahaan memang secara terbuka menyebutkan dalam brosur mereka bahwa target pelamar adalah lulusan baru, dengan usia maksimal 25-30 tahun.
Realita Diskriminasi Usia dalam Rekrutmen
Diskriminasi usia dalam proses rekrutmen bukan isu baru di dunia kerja. Meskipun tidak tertulis secara hukum bahwa pembatasan usia dilarang secara tegas, kenyataannya praktik ini kerap dilakukan secara terang-terangan dalam iklan lowongan kerja.
Penyebabnya bisa beragam. Mulai dari persepsi bahwa pekerja muda lebih mudah dibentuk, lebih cepat beradaptasi dengan teknologi, hingga alasan efisiensi jangka panjang. Namun di balik itu, mengabaikan pencari kerja berpengalaman justru berisiko menutup akses pada tenaga kerja yang memiliki skill tinggi, loyal, dan produktif.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Ketika banyak orang di atas usia 35 atau 40 tahun tersingkir dari proses rekrutmen, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu saja. Secara sosial, hal ini dapat memperbesar angka pengangguran usia matang dan menambah beban ekonomi keluarga.
Dari sisi ekonomi, Indonesia bisa kehilangan potensi produktivitas dari jutaan orang yang sebenarnya masih mampu dan bersedia bekerja. Di tengah tuntutan peningkatan produktivitas nasional, diskriminasi usia adalah ironi yang perlu segera diatasi.
Langkah Pemerintah dan Regulasi
Pemerintah sebenarnya telah mengidentifikasi permasalahan ini. Beberapa waktu lalu, Kementerian Ketenagakerjaan menegaskan pentingnya memberi kesempatan kerja yang setara tanpa membatasi usia.
Meski demikian, hingga kini belum ada regulasi yang secara spesifik dan tegas melarang perusahaan mencantumkan batas usia dalam proses rekrutmen. Hal ini membuka ruang abu-abu yang memungkinkan praktik diskriminasi terus berlangsung.
Solusi Menuju Pasar Kerja Inklusif
Untuk menghadapi masalah ini, diperlukan solusi dari berbagai pihak:
-
Revisi Regulasi Ketenagakerjaan
Pemerintah perlu menetapkan aturan eksplisit tentang larangan batas usia dalam rekrutmen kecuali untuk pekerjaan dengan risiko khusus atau syarat medis tertentu. -
Kampanye Kesetaraan Kesempatan Kerja
Masyarakat perlu diberi edukasi bahwa kemampuan kerja tidak ditentukan oleh usia, melainkan oleh keterampilan, pengalaman, dan sikap. -
Pelatihan dan Re-skilling
Program pelatihan ulang bagi pekerja usia matang harus digalakkan agar mereka tetap relevan di tengah perubahan industri. -
Perusahaan Harus Bertransformasi
Dunia usaha harus membuka diri terhadap keberagaman usia di tempat kerja dan menyadari nilai tambah dari keberagaman tersebut, termasuk loyalitas dan kedewasaan dalam menyelesaikan tugas.
Baca juga:Pemerintah Matangkan Draf RUU Perampasan Aset, Segera Konsultasi ke DPR
Suara yang Perlu Didengar
Keluh kesah dari para pencari kerja yang terganjal batas usia bukan sekadar cerita pilu, tapi panggilan untuk perubahan. Negara yang besar tidak hanya membanggakan usia demografinya yang muda, tetapi juga menghargai kontribusi semua kelompok usia secara adil.
Pasar tenaga kerja ideal adalah pasar yang memberi ruang bagi semua yang mampu dan ingin berkontribusi—tanpa batas diskriminatif.
Kesimpulan
Fenomena batas usia dalam rekrutmen kerja adalah tantangan nyata bagi banyak pencari kerja di Jakarta dan kota besar lainnya. Mereka yang memiliki pengalaman puluhan tahun pun kerap kalah oleh angka di KTP. Padahal, kemampuan kerja tidak selamanya ditentukan oleh umur, melainkan oleh tekad, keterampilan, dan kejujuran.
Dengan dukungan regulasi yang inklusif dan sikap terbuka dari dunia usaha, harapan akan pasar kerja yang adil dan setara bukanlah mimpi semata. Saatnya menghentikan diskriminasi usia, dan mulai melihat manusia dari nilai yang mereka miliki—bukan dari angka di kartu identitas.