Dua Wajah Penghapusan Outsourcing: Antara Komitmen Presiden dan Keraguan Buruh
Isu outsourcing atau alih daya sudah lama menjadi perdebatan di dunia ketenagakerjaan Indonesia. Praktik ini awalnya dianggap sebagai solusi efisiensi operasional perusahaan, namun dalam pelaksanaannya sering kali menimbulkan persoalan serius terhadap hak-hak buruh. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia—terutama Presiden Joko Widodo—telah menunjukkan komitmen untuk memperbaiki sistem kerja di Indonesia, termasuk meninjau kembali penggunaan sistem outsourcing.
Penghapusan sistem outsourcing untuk pekerjaan inti sempat menjadi janji politik Presiden dalam kampanye periode keduanya. Langkah ini dipandang sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pekerja formal dan bagian dari strategi jangka panjang menuju keadilan sosial dan kesejahteraan pekerja. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak yang mempertanyakan implementasi nyata dari komitmen tersebut di lapangan.

Dua Wajah Penghapusan Outsourcing: Antara Komitmen Presiden dan Keraguan Buruh
Dalam beberapa pernyataannya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa negara tidak boleh kalah oleh sistem yang merugikan rakyat. Hal ini terutama terkait praktik outsourcing yang dinilai mengaburkan status kerja karyawan dan membuka peluang eksploitasi. Beberapa kebijakan pun digulirkan, termasuk melalui Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), yang mencantumkan sejumlah ketentuan baru soal sistem alih daya.
Namun, kendati demikian, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya diterima secara positif. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah keberadaan pasal-pasal yang justru memperluas ruang lingkup pekerjaan yang bisa dialihdayakan. Kondisi ini menimbulkan tafsir ganda: apakah pemerintah benar-benar berniat menghapus outsourcing, ataukah justru melegalkannya dalam kerangka hukum yang lebih luas?
Sikap Serikat Buruh: Antara Harapan dan Ketidakpercayaan
Serikat buruh di Indonesia menjadi pihak yang paling keras menentang kebijakan perluasan outsourcing. Mereka menganggap kebijakan ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap janji kampanye presiden. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyatakan bahwa pemerintah hanya berpihak pada kepentingan investor dan pengusaha, bukan kepada pekerja.
Buruh menilai bahwa sistem outsourcing merampas hak normatif mereka, seperti jaminan kepastian kerja, upah layak, dan perlindungan hukum yang kuat. Dalam banyak kasus, pekerja outsourcing hanya mendapatkan kontrak kerja jangka pendek, tidak mendapat jaminan sosial, dan rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Praktik di Lapangan: Tidak Seragam dan Rentan Penyimpangan
Implementasi penghapusan outsourcing ternyata tidak berjalan seragam di lapangan. Banyak perusahaan tetap mempertahankan sistem alih daya, dengan alasan efisiensi biaya dan fleksibilitas operasional. Bahkan, beberapa perusahaan justru memanfaatkan celah regulasi untuk mengalihdayakan pekerja di sektor-sektor inti seperti manufaktur, perbankan, dan transportasi.
Situasi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dari dinas tenaga kerja dan ketidakjelasan dalam regulasi pelaksana. Banyak perusahaan outsourcing tidak mendaftarkan karyawannya ke BPJS Ketenagakerjaan, tidak memberikan pesangon saat kontrak berakhir, dan tidak mengikutsertakan pekerja dalam serikat buruh.
Dampak Sosial dan Psikologis bagi Pekerja
Pekerja outsourcing sering kali mengalami tekanan psikologis akibat ketidakpastian status kerja mereka. Mereka cenderung tidak memiliki rasa aman terhadap masa depan pekerjaan, yang berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup secara keseluruhan. Tidak jarang, pekerja outsourcing mengaku bekerja dalam kondisi yang penuh tekanan dan jam kerja yang panjang, dengan imbalan yang jauh dari layak.
Ketidakpastian ini tidak hanya berdampak pada individu, tapi juga keluarga mereka. Banyak pekerja kesulitan mendapatkan pinjaman bank, fasilitas kredit, atau akses rumah subsidi karena status kerja mereka tidak tetap.
Respons Pengusaha: Dilema Antara Efisiensi dan Regulasi
Di sisi lain, kalangan pengusaha berpendapat bahwa sistem outsourcing tetap dibutuhkan, terutama untuk pekerjaan yang sifatnya tidak permanen atau berfluktuasi. Menurut mereka, penghapusan outsourcing secara menyeluruh justru akan menghambat efisiensi bisnis dan mengurangi daya saing industri nasional.
Beberapa pengusaha bahkan mengkhawatirkan akan munculnya biaya tambahan yang besar jika seluruh pekerja outsourcing harus diangkat menjadi pekerja tetap. Dalam kondisi perekonomian yang belum stabil pasca pandemi, pengusaha cenderung mencari cara paling fleksibel untuk mengatur beban kerja dan biaya tenaga kerja.
Peran DPR dan Regulasi Turunan
Peran DPR dalam menyusun regulasi turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja juga sangat krusial. Beberapa anggota legislatif mendorong agar aturan pelaksana yang dikeluarkan oleh pemerintah memperjelas batasan mengenai jenis pekerjaan yang boleh dan tidak boleh dialihdayakan.
Namun, tarik-menarik kepentingan antara fraksi politik yang pro-buruh dan yang pro-pengusaha membuat pembahasan regulasi turunan menjadi pelik. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku usaha maupun pekerja.
Baca juga:Pemerintah Pastikan Dana Pinjaman Pembentukan Kopdes Merah Putih Berasal dari Himbara
Harapan Buruh: Penegakan Hukum yang Tegas dan Transparan
Buruh berharap agar pemerintah tidak hanya membuat regulasi, tetapi juga memastikan penegakan hukumnya. Tanpa pengawasan yang efektif dan sanksi yang tegas, praktik penyimpangan dalam sistem outsourcing akan terus terjadi.
Selain itu, buruh juga menuntut adanya transparansi dalam setiap bentuk kerja sama antara perusahaan dan penyedia jasa outsourcing. Mereka juga mendorong pendirian lembaga khusus yang dapat menampung pengaduan buruh outsourcing dan memberikan bantuan hukum secara gratis.
Alternatif Solusi: Skema Transisi Menuju Kerja Tetap
Beberapa pihak menyarankan adanya skema transisi dari sistem outsourcing ke sistem kerja tetap secara bertahap. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak atau keringanan biaya operasional bagi perusahaan yang mengangkat pekerja outsourcing menjadi karyawan tetap.
Selain itu, pemerintah juga dapat membuka program pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi untuk meningkatkan keterampilan pekerja outsourcing. Dengan demikian, mereka memiliki nilai tawar yang lebih tinggi di pasar kerja dan dapat bersaing secara profesional.
Penutup: Menuju Sistem Ketenagakerjaan yang Adil
Penghapusan outsourcing bukan sekadar soal kebijakan, tetapi menyangkut masa depan jutaan pekerja Indonesia. Komitmen Presiden harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang berpihak pada keadilan sosial dan kesejahteraan buruh. Di sisi lain, keberlanjutan bisnis juga harus diperhitungkan agar tidak menimbulkan gejolak ekonomi.
Dibutuhkan dialog tripartit yang jujur dan terbuka antara pemerintah, buruh, dan pengusaha untuk menciptakan sistem ketenagakerjaan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada semua pihak. Sebab, di balik janji dan kebijakan, ada wajah-wajah buruh yang menunggu kepastian dan keadilan.