Menteri HAM Usul Pembentukan UU Kebebasan Beragama
Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) mengusulkan pembentukan Undang-Undang Kebebasan Beragama sebagai langkah untuk mengatasi diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas atau yang berada di luar agama resmi yang diakui negara.
Undang-Undang Kebebasan Beragama, bukan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama. Kenapa? Kalau Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama itu seakan-akan kita menerima fakta adanya pengekangan kebebasan beragama,” ujar Menteri HAM Natalius Pigai, dikutip dari Antara, Rabu (12/3/2025).

Perbedaan UU Kebebasan Beragama dan Perlindungan Umat Beragama
Pigai menjelaskan bahwa Undang-Undang Kebebasan Beragama lebih diperlukan dibandingkan dengan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama. Menurutnya, negara tidak boleh secara tidak langsung menjustifikasi adanya ketidakadilan dalam kebebasan beragama.
“Ada undang-undang yang memproteksi, itu tidak boleh. Oleh karena itu, posisi kami adalah menginginkan Undang-Undang Kebebasan Beragama sehingga siapa pun anak bangsa bisa beragama,” tutur Pigai.
Selain itu, Pigai menegaskan bahwa Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama seolah-olah mengakui bahwa ada pengekangan kebebasan beragama di negara ini, sedangkan yang diperlukan adalah jaminan penuh atas kebebasan beragama setiap warga negara, tanpa harus dibatasi oleh aturan protektif yang sebenarnya hanya mempertegas ketidakadilan.
Masih Tahap Wacana dan Dapat Diperdebatkan
Lebih lanjut, Pigai menambahkan bahwa usulan pembentukan Undang-Undang Kebebasan Beragama masih bersifat wacana awal dan dapat diperdebatkan lebih lanjut di tingkat pemerintahan dan parlemen.
“Silakan bila ada yang mau protes, tidak apa-apa. Ada yang tidak protes, tidak apa-apa. Kan boleh dong namanya juga demokrasi,” ujarnya.
Alasan Pengusulan UU Kebebasan Beragama
Usulan ini muncul sebagai respons terhadap penurunan Indeks Demokrasi Indonesia dalam The Democracy Index 2024 yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Pigai menilai bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi, sehingga diperlukan regulasi yang lebih kuat untuk menjamin kebebasan tersebut.
Dalam laporan EIU, disebutkan bahwa kebebasan beragama di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam perlindungan kelompok minoritas dan jaminan kesetaraan beragama. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus diskriminasi berbasis agama, baik dalam bentuk kebijakan publik maupun dalam praktik sosial.
Rekomendasi Tambahan dari Kementerian HAM
Selain mengusulkan pembentukan UU Kebebasan Beragama, Kementerian HAM juga mengajukan beberapa rekomendasi lain untuk meningkatkan angka indeks demokrasi di Indonesia, di antaranya:
- Revisi Peraturan Kapolri soal ujaran kebencian, agar aturan tersebut lebih sesuai dengan prinsip kebebasan berekspresi dan tidak menjadi alat represif.
- Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) untuk memperbaiki sistem demokrasi dan perlindungan hak-hak warga negara.
- Peningkatan pengawasan terhadap kebijakan daerah yang berpotensi diskriminatif terhadap kelompok keagamaan tertentu.
- Penyediaan layanan pengaduan yang lebih efektif bagi korban diskriminasi berbasis agama.
Respons dan Tantangan terhadap Usulan UU Kebebasan Beragama
Meskipun masih dalam tahap wacana, usulan ini diprediksi akan menuai berbagai tanggapan dari masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia. Sejumlah tantangan yang dapat muncul meliputi:
- Resistensi dari kelompok agama tertentu yang menganggap kebebasan beragama perlu dibatasi dengan aturan tertentu.
- Tantangan hukum dan birokrasi dalam proses pembahasan dan pengesahan UU ini di DPR.
- Potensi perdebatan politik terkait batasan kebebasan beragama dalam konteks negara dengan mayoritas penduduk beragama tertentu.
- Kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan UU ini oleh kelompok tertentu untuk mempromosikan ajaran atau keyakinan yang bertentangan dengan norma sosial.
Beberapa kelompok agama besar di Indonesia juga menyatakan kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan adanya konflik kepentingan dalam pembentukan UU ini. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa semua pihak terlibat dalam diskusi yang terbuka dan inklusif sebelum undang-undang ini disahkan.
Perspektif Internasional tentang Kebebasan Beragama
BACA JUGA:Jadwal dan Link Pendaftaran Program Motor Gratis (Motis) di Yogyakarta 2025
Kebebasan beragama merupakan hak fundamental yang telah diakui dalam berbagai perjanjian
internasional, termasuk dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Pasal 18 DUHAM menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini mencakup kebebasan
untuk mengubah agamanya atau kepercayaannya, serta kebebasan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, untuk mengekspresikan agamanya dalam bentuk ibadah, pengamalan, dan pengajaran.”
Banyak negara telah mengadopsi UU Kebebasan Beragama untuk melindungi hak-hak individu dan kelompok agama minoritas.
Misalnya, Amerika Serikat memiliki Religious Freedom Restoration Act (RFRA) yang menjamin kebebasan beragama
dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Demikian pula, negara-negara Eropa memiliki kebijakan serupa untuk memastikan bahwa hak beragama setiap individu dihormati tanpa ada diskriminasi.
Kesimpulan
Usulan Undang-Undang Kebebasan Beragama dari Kementerian HAM merupakan
langkah progresif dalam menjamin hak beragama setiap individu di Indonesia.
Meskipun masih dalam tahap wacana, pembahasan mengenai UU ini akan menjadi perdebatan
penting dalam konteks demokrasi dan hak asasi manusia di tanah air.
Ke depan, perlu dilakukan kajian lebih mendalam serta dialog terbuka dengan berbagai pihak untuk
memastikan bahwa regulasi yang diusulkan dapat diterima secara luas dan berdampak positif bagi
seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, pemerintah harus mendukung implementasi kebijakan
yang melindungi kebebasan beragama tanpa menimbulkan konflik kepentingan atau diskriminasi baru terhadap kelompok tertentu.
Sebagai negara dengan pluralisme agama yang tinggi, Indonesia memiliki tantangan besar
dalam memastikan bahwa semua warganya memiliki hak yang sama dalam menjalankan keyakinannya.
Oleh karena itu, diskusi dan keterlibatan masyarakat luas sangat penting dalam proses perumusan UU ini, sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang benar-benar mencerminkan prinsip keadilan, inklusivitas, dan hak asasi manusia.